Senin, 05 Oktober 2015

Kisah Perjalanan Menuju Puruk Bundang


         Saya dilahirkan dan tumbuh besar di Kota Kuala Kapuas Kalimantan Tengah, Ayah saya bernama Dijat Apil. Lahir di Desa Dadahup(termasuk daerah alur sungai Barito) pada tahun 1933. Beliau meninggal dunia pada tahun 2000. Ibu saya bernama Durce Rasan Ramin yang lahir di Desa Buntoi Kahayan Hilir.
Sebelum saya menceritakan tentang perjalanan menuju Puruk Bundang, terlebih dahulu saya sampaikan sedikit kisah tentang Ayah saya yang menjadi latar belakang inspirasi saya dahulu, sebagai anak muda yang memutuskan untuk melakukan perjalanan yang dianggap tidak wajar pada jaman sekarang. Ayah saya dimata anak dan cucunya, dikenal sebagai pencerita kisah tentang kepahlawanan dayak, yang sering dikisahkan beliau dalam bentuk cerita Panglima yang punya kesaktian dan membela suku dan tanah nenek moyangnya, hampir setiap ada kesempatan berkumpul bersama anak cucunya, dia sempatkan untuk bercerita.
Ayah dikenal sebagai pegawai yang jujur sebagai bendahara di kantor Pertanian, bahkan kejujuran itu dikenang dalam kisah beliau saat bekerja sebagai PNS yaitu sebagai bendahara di Kantor Pertanian Kuala Kapuas, suatu ketika saat bekerja mengurus pengambilan uang di Palangka Raya, beliau tidak menyangka membawa uang lebih, hal itu diketahuinya setelah ia menghitung uang setibanya di Kuala Kapuas, ternyata dari pengambilan uang keperluan Kantor, terdapat kelebihan bayar Rp. 200.000,- dari uang yang diterimanya yang diserahkan oleh pegawai di Palangka Raya tempatnya berurusan. Merasa menerima uang yang bukan haknya, ayah yang dikenal atas kejujurannya berusaha mengembalikan uang tersebut ke Palangka Raya, hingga bagaimana ceritanya beliau tiba di Palangka Raya dan menceritakan komentar pegawai di Palangka Raya pada keluarga kami dirumah sekembalinya dari Palangka Raya, “seharusnya uang tersebut tidak usah bapak repot-repot kembalikan pada kami, itu kekeliruan kami, sampai-sampai bapak mau mengembalikannya padahal kami tidak tau uang tersebut lebih kami serahkan kepada bapak”. Pengetahuanku Palangka Raya sangatlah jauh, dulunya untuk menuju Palangka Raya hanya bisa dicapai melalui kapal air dengan lamanya perjalanan satu hari satu malam.
Pada waktu itu saya baru lulus sekolah (SMA) di Kuala Kapuas pada tahun 1982. Di masa kepegawaiannya, sepengetahuanku tidak pernah Ayah memanfaatkan kesempatan untuk menekan orang lain agar menerima kami salah satu anaknya pun, yang berjumlah 10  orang : lima laki-laki dan lima perempuan, untuk bekerja di instansi pemerintah saat itu, intinya Ayah tidak memanfaatkan jabatannya sebagai hadiah atas jasanya membantu orang lain ataupun karena kenalannya dengan pejabat yang dikenalnya untuk menerima kami sebagai pegawai, agar kami diterima menjadi pegawai di manapun dia punya koneksi. Kami mencari kerja dengan upaya sendiri setelah tamat SMA. Akhir karirnya sebagai PNS Ayah menerima penghargaan sebagai pegawai teladan. Kisah ayah mempengaruhi saya, hingga kisah-kisah tersebut tersimpan bagai petunjuk berharga untuk memulai perjalanan dalam pencarian jati diri di masa muda, sesuai cerita yang sering dikisahkannya dan sifat beliau membentuk sifat saya sebagai anaknya.
Perjalanan yang saya ceritakan ini dimulai pada tahun 1988. Saat itu usia saya sudah 27 tahun. Saya memutuskan untuk mengembara ke arah matahari terbit tepatnya di Desa Maruei. Disini saya tinggal selama ±1 tahun, di rumah  bapak yang bernama Bato, beliau sangat baik hati hingga saya pun dijadikan anak angkatnya. Umurnya pada waktu itu sekitar 89 tahun,. Bapak angkat saya ini sudah mempunyai anak, yaitu 3 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan. 
Pada suatu malam, didalam rumahnya yang sederhana, saya bertanya kepadanya, di hadapan Ibu angkat saya yang berumur 87 tahun, tampaknya mereka berdua kelihatan sehat walaupun usianya sudah cukup tua, yang saya tanyakan ada hubungannya dengan mimpi saya, pada malam sebelumnya “Pak, apa artinya seorang perempuan tua datang kesini sambil mengunyah sirih sampai-sampai mulutnya pun merah seperti darah dan berkata pada saya, kata nenek itu memperkenalkan dirinya pada saya. Cucu, saya bernama Manyang Urai yang sengaja datang menemui kamu, bahwa kamulah turunan ke-4 yang bisa naik ke Puruk Bundang. Setelah nenek itu berkata kepada saya, nenek tersebut menyerahkan sirih  yang sudah dikunyah dari mulutnya, tanpa berpikir lagi, seketika saya ambil sirih itu.Nenek tadi menghilang dari hadapan saya dan saya pun terbangun dari tidur”.
            Setelah mendengar cerita mimpi itu, ayah angkat saya langsung mengartikan mimpi yang saya ceritakan, katanya “Sekitar tahun 1948, kami bertiga pernah naik ke Puruk Bundang bersama-sama yang pertama saya sendiri, yang kedua Kapten Milono, yang ketiga Tjilik Riwut dari Palangka Raya.“Kalau mendengar petunjuk dari mimpi anak malam tadi, kamulah orangnya” mendengar perkataan Ayah angkat, saya sempat terkejut karena mimpi tersebut ternyata berhubungan dengan turunan ke-4 yang naik ke Puruk Bundang. Setelah mendengar petunjuk baik dari mimpi yang diartikan oleh Ayah angkat, dan berkisah panjang lebar tentang Puruk Bundang, demikianlah malam itu saya memutuskan besok pagi untuk mendaki Puruk Bundang. Tidak terasa perbincangan kami bertiga sampai larut malam hingga menunjukkan jam 2 pagi,  kantuk memaksa kami untuk beranjak ke tempat tidur, beralaskan tikar, walaupun tidur di tempat seadanya namun saat itu saya dapat tidur dengan lelap.
Dipagi harinya saya terbangun ketika matahari sudah terbit. Ayah dan ibu angkat saya sudah mempersiapkan air minum berupa kopi dan sarapan pagi, kami pun bersama-sama menikmati makanan dan minuman, juga tersedia regan terbuat dari buah tongkai sejenis buah durian yang dimasukan kedalam bambu yang dibakar supaya matang. Bersamaan hal pembicaraan kami tadi malam, ayah angkat saya berkata,”Anakku kamu harus berangkat besok pagi-pagi sekali biar nanti Ayah mengantar kamu kemuara jalan, tapi lebih dahulu kita menuju Desa Bundang dan dari sini kita menggunakan kelotok”.
            Sebelum saya berangkat,  ibu angkat membuat ketupat Sinta sebesar genggaman, dan merebus telur ayam kampung sebanyak masing-masing 7 biji, juga menyiapkan air dingin didalam bambu yang cukup besar. Ibu angkat berkata kepada saya, “hanya inilah persiapan makananmu dalam perjalanan menuju Puruk Bundang seperti pengalaman Bapakmu dulu bersama-sama dua rekannya, mudah-mudahan anak selalu dalam dampingan Sahut Parapah, uka ewen tau ngagulu anak, uka tau bahasil” dengan berbahasa Kapuas Ngaju kepada saya, lanjut Ibu angkat saya berkata “Mudah-mudahan Tambun ewen due Bungai tatap manganggulu anak hong jalanan mengejau kare dahiang taluh papa je handak manderuh anak”, demikian doa dari ibu angkat agar selama dalam perjalanan dapat selamat dari segala bahaya. Setelah Ibu angkat selesai mempersiapkan segala yang diperlukan maka datanglah Bapak angkat saya.” Mari kita berdua berangkat ke Desa Bundang dan di perkirakan waktu menggunakan kelotok menuju Desa tersebut sekitar empat jam dari Maruei” kata ayah angkat saya.
            Kemudian ayah angkat saya berpesan .”Setelah sampai nanti kita jangan sampai diketahui oleh orang Kampung, dan saya hanya bisa menunjukan muara jalan, dan saya memberikan kayu ini untuk kamu nanti menggunakannya dengan cara dikunyah pada waktu menuju Puruk Bundang. Mudah-mudahan benda ini bisa membantu anak dalam perjalanan dan pesanku jangan sama sekali melihat kebelakang, dari muara jalan ini anak harus jalan lurus menuju arah matahari terbit. Jika sudah mulai malam anak istirahat tidur bersila seperti orang yang bertapa atau bersemedi dan tetap menuju arah Matahari terbit dan membelakangi matahari terbenam, cuma itulah petunjuk Bapak yang harus anak ingat”. Selesai menyampaikan pesannya, beliau  langsung  membalikan  badannya, tanpa menoleh dan kembali ke Maruei.
Sebelum melangkahkan kaki, kulihat waktu sekitar jam tiga sore. Tanpa menoleh kebelakang, sambil membawa perbekalan menuju arah yang sesuai dengan hakikat hati.  Anehnya selama dalam perjalanan, saya tidak dapat mengetahui dengan jelas apakah hari ini sudah mulai gelap atau belum, sedangkan waktu saya berjalan kira-kira sudah sekitar empat jam berlalu dan hari masih terasa terang benderang tanpa ada kesulitan, terus melangkahkan kaki kedepan. Ditengah perjalanan menuju Puruk Bundang saya sempat terkejut mendengar suara seseorang dari balik pepohonan yang besar, katanya” Cucuku menolehlah kesebelah kanan sebentar, cucu bisa meminta bagian cucu yaitu berupa kayu sangkalemu. caranya cucu mengambil, petik dulu daun yang hidup didepanmu, kemudian langsung cucu lempar kearah kayu sangkalemu tersebut”. Kayu yang dimaksud berada hanya beberapa langkah di samping kananku. Saya pun terkejut melihat bermacam-macam binatang, dan burung-burung diwilayah pohon kayu tersebut berada, semuanya seakan-akan tak berdaya untuk keluar dari tempat kayu sangkalemu tersebut berada. Sayapun bertekad untuk menuju kayu tersebut, melewati binatang yang berada di lokasi yang kutuju, melangkah menghindari ular-ular yang bermacam-macam warnanya ditanah tempat kayu sangkalemu tersebut berada. Selanjutnya saya memetik daun hidup, sesuai petunjuk yang kudengar tadi dan melemparkannya, kemudian langsung berlari menjauh setelah mendapatkan dahan kayu sangkalemu.
Setelah itu saya melanjutkan perjalanan ke Puruk Bundang atau Gunung Bundang, naik turun hutan rimba, karena mulai lelah saya pun istirahat sejenak makan, minum dan merokok. Selesai istirahat saya langsung berjalan lagi ketempat apa yang sudah menjadi niat hati saya, begitulah seterusnya berlanjut perjalanan saya hingga tiba pada suatu tempat dengan pemandangan yang begitu indah terlihat, bermacam-macam bunga berwarna- warni seakan-akan menanti kedatanganku, disekeliling tercium aroma bunga yang harum, dan tidak jauh terlihat didepan seperti benteng batu yang tinggi, jadi saya perkirakan ini lah namanya Puruk Bundang.
            Singkat ceritanya setelah menikmati keindahan sekitar, saya pun tertidur dengan kaki bersila seperti orang yang bertapa dan tetap menuju arah matahari terbit dan membelakangi matahari terbenam, bersandar pada batu menyerupai benteng yang sangat tinggi. Dalam tidur ku bermimpi melihat Bidadari sebanyak 7 orang, dengan berpakaian berwarna kuning keemasan, pada waktu itu saya merasa menatap salah satu perempuan yang sangat cantik. Salah seorang dari mereka menyapa saya dengan berbahasa dayak ngaju, katanya” Baya jituh je nengakuh akam akan penyang, kareh imbungkus dengan kain baputi je nyuang huang Cupu helu dan amun ikau perlu aku tehau arang kuh… huang kasasat kalurat dan tinai sahindai ikau buli kareh ingat-ingat manyurat aram huang Turunan kaepat intu batu ekam basantah. Dalam mimpi tersebut, Bidadari memberikan sesuatu untukku yang dapat digunakan nantinya di saat-saat ku memerlukannya dan mengigatkanku untuk menorehkan nama pada batu tempatku bersandar. Seketika Bidadari itu selesai bicara, saya terbangun dari tidur, teringat apa yang dibicarakannya dan berusaha menemukan petunjuk sesuai mimpi yang baru saja saya alami.
Saya kemudian menoleh kebelakang tempat saya bersandar, terlihat nama yang pertama Bato, Kedua Milono, Ketiga Tjilik Riwut. Sesuai petunjuk, saya pun menulis nama saya, tertulis nama MANLI dengan hurup Kapital didinding batu itu, nama saya yang keempat dengan menggunakan keris pusaka turun-temurun dari kakek. Keris berkelok lima. Setelah merasa cukup saya pun istirahat makan, persediaan saya tersisa tiga telur ayam  dan ketupat sinta, untuk persediaan kembali pulang dari atas Puruk Bundang hanya tersisa satu biji telur dan satu biji ketupat sinta. Kemudian setelah merasa cukup lama dan niat hati sampai Puruk Bundang terwujud, sayapun melangkahkan kaki turun kebawah sambil mengangkat kedua tangan keatas, karena merasa gembira niat hati sudah terkabulkan.
Singkat cerita, perjalanan saya turun terasa lebih singkat daripada mendaki, hingga tidak terasa sudah sampai muara jalan tempat asal dan ditunggu oleh Bapak angkat saya, katanya “Dua hari dua malam perjalanan anak pulang pergi dalam hitungan ayah”.
Demikianlah perjalanan saya menuju puruk bundang. Semoga Cerita ini tidak dianggap sebagai  pengumbar keberanian di masa muda, karena bukanlah demikian maksud cerita ini dikisahkan, tetapi kuanggap sebagai bagian dari pencarian jati diri sebagai anak dayak. Cerita ini saya kisahkan untuk mengenang kembali ke masa muda saya yang masih dalam pencarian jati diri sebagai orang yang berani namuei/merantau mencari pengetahuan tentang kisah-kisah nenek moyang yang tidak banyak tertulis namun dituturkan secara langsung oleh orang-orang tua kepada anak cucunya tentang suatu lokasi keramat dan menjadi tempat yang dihormati, yang berhubungan dengan penambahan kepercayaan diri sebagai orang dayak yang memiliki pengetahuan berdasarkan pengalaman melalui kisah orang tua dan tokoh masyarakat sebelumnya, dimana mengalami sesuatu hal yang gaib dan mistis dulunya sebagai sumber peningkat kepercayaan diri, dan pengakuan akan luasnya perjalanan hidup di masa muda di tempat yang sangat dijunjung dan dihargai sebagai tempat yang sakral oleh nenek moyang dan masyarakat sekitar.

Catatan :
Dulunya untuk mengecap pendidikan formal yang lebih tinggi, saya beserta kesembilan saudara kandung, sudah cukup bangga mengenyam pendidikan hingga tingkat SMA, karena ketidakmampuan biaya. Untuk melanjutkan pendidikan ke lebih tinggi itu adalah upaya sendiri, sehubungan untuk membiayai sekolah kami, ayah sebagai PNS yang  menerima penghasilan, tanpa diragukan lagi adalah benar-benar didapatkannya dari gaji bulanannya yang kukira cukup untuk membesarkan kami, dan kami tidak pernah dididik untuk menjadi pengusaha, sehubungan tidak ada keluarga usahawan, dan dulunya kulihat demikian juga berlaku bagi kami uluh Kapuas (orang yang tinggal di aliran sungai Kapuas)lainnya, kebanyakan apabila tidak dapat menjadi seorang pegawai pemerintah ataupun sebagai karyawan swasta, kebanyakan akan menjadi petani musiman serta mengharapkan hasil alam baik menambang emas dan menebang kayu hutan untuk dijual, sebelum kata illegal mining dan illegal logging kerap dikenal orang dayak dan kini membuat mereka berurusan dengan aparat keamanan, yang kini sumber daya alam tersebut makin terbatas.
Kini benar sulit mencari tempat yang benar-benar dianggap keramat dan dihormati, bahkan tanah yang sejak lama dijaga oleh nenek moyang sebagai tempat berburu dan mencari ikan : dijadikan beje dimanfaatkan sebagai tempat ikan berkumpul ketika musim hujan berganti musim kemarau, kini diganti perusahaan-perusahaan, contohnya perusahaan sawit yang kini mulai mengakui tanah tersebut sebagai areal mereka. Demikian juga tanah yang letaknya tidak jauh dari keramaian, apabila lalai digarap akan menjadi milik developer perumahan, yang tiba-tiba sudah mengantongi ijin pembangunan, dan menimbulkan pertikaian dengan masyakarat penggarap namun tidak memiliki pengetahuan tentang pentingnya mengurus surat tanah.
Modal besar perusahaan dan pengusaha kaya, memang menjanjikan pembukaan lahan dan pengelolaan serta pembangunan yang cepat hingga secara tampak tidak disengaja saking cepatnya tidak menyadari bahwa tanah nenek moyang kita dan kesakralannya hampir tidak ada lagi, bahkan kisah mistis dan kepahlawanan yang mengikutinyapun hampir tidak terdengar lagi.
 Masyarakat pendatang dengan pendidikan yang tinggi dan mampu bersaing sudah terlalu banyak, bahkan sulit mengejar kecerdasan mereka yang lulusan sekolah dari luar Kalimantan Tengah, yang tentunya lebih maju sarana dan prasarananya dari kota kita yang beberapa tahun sebelumnya hanyalah hutan rimba. Demikian harapan bagi saudaraku yang bisa sepemikiran, hindarilah tergesa-gesa menjual dan menyerahkan tanah hanya untuk hal yang bersifat sesaat, bahkan jagalah dan sahkanlh bahwa tanah itu milikmu, dengan merawatnya dan tidak lupa membuat surat menyuratnya, baiklah sebelumnya pikirkanlah anak cucu kita, apabila nantinya tidak ada tempat atau tanah untuk diolah sendiri, dan memilih tinggal semakin ke daerah pedalaman di tanah yang bukan milik sendiri ataukah meriuh suasana kota yang semakin sempit dan mulai tidak percaya diri. Baiklah menyisakan tempat mengolah tanah sendiri oleh dan untuk anak cucu kita, dan mempercayakan mereka bahwa kita juga bisa mengolah tanah kita sendiri tanpa mengharap banyak bekerja sebagai PNS dan karyawan swasta yang tenaga dicarinya hanya 1 : 3, 1 untuk lowongan pekerjaan dan tersisa 2 untuk pengangguran.
Catatan ini saya akhiri, sembari membagi pemikiran berdasarkan pengalaman yang saya alami, mengenang masa hidup orang yang saya hormati, baik ayah kandung saya yang  memilih kariernya sebagai PNS dan pensiun, akibat penyakit tekanan darah tingginya, dan serangan stroke untuk yang ketiga kalinya membuatnya meninggal dunia di usianya yang ke 67 tahun. Namun kisahnya kepada kami tentang kisah-kisah Panglima Dayak dan kisah mistis suatu tempat dan tentang wilayah keramat yang menjadi legenda tetap terasa hidup agar masa itu tidaklah lenyap hanya sebagai kisah yang sirna belaka tanpa dijaga. Dan tentunya sifat dasar kita manusia tidak akan mudah percaya pada suatu hal, apalagi kisah tersebut tentang hal keramat, yang sekarang belum tentu bisa ditemukan kembali tempatnya, akibat tidak adanya keinginan menjaga tanah leluhur.  Demikian juga ayah angkat dan ibu angkat saya yang selalu tampak sehat, bekerja dengan hidup bersama alam dan memanfaatkan hasil alam yang tersedia, dapat berumur panjang hingga umur lebih dari 80 tahun, dan anehnya saya dapat tidur nyenyak tinggal dalam kesederhanaan rumah mereka, mereka selalu menerima orang luar dalam keluarganya, bahkan mereka mengangkatku sebagai anak angkat. Bahkan lebih dari itu ayah dan ibu angkat akan selalu menerima anak muda yang mencari kepercayaan dirinya, dengan mengingat leluhur dan tanah moyangnya, akan diterima dan dibimbing untuk diberikan petunjuk bahwa kita juga harus ikut serta menorehkan nama untuk menjaganya tetap abadi.
              
  



            Tampak gambar ini sekitar tahun 1988, foto saya dari kiri sambil memegang dua helai bulu Burung Haruei dan disebelah kanan adalah Bapak angkat saya bernama “Bato” (seorang Kepala Dusun) di Kampung Maruei daerah Puruk Cahu.yang telah mengantar sampai muara kaki Gunung Bundang atau Puruk Bundang diwilayah Barito (Puruk Cahu).

Karungut ini saya karang, berdasarkan kisah perjalanan saya menuju Puruk Bundang :
Karungut Petak Malai Bulu Marindu

Tahi manunyang kapehen huang
Katahin lihi tiung tarawang
Bilak lumpat jalan malekat
Karena Buli Hajamban Surat

Bukei itung karangkan niat
Manggau ilmu je paling harat
Hapus nyelu baganti bulan
Tulak mangarik hulu Kahayan

Lepah lewu uras nasaran
Tapi ampi jatun panduan
Mules tinai Kapuas Murung
Sampai Barito murik nahusung
Puri, ampah je Runduk patung
Taluh je nggau hindai tanturung

Halau lepah je bontok tiwei
Murik mimbit kapehen atei
Mun dia dinu minyak karuhei
Bara buli buang keleh ku matei

Tukep Puruk Cahu atun Carita
Taluh je nggau tau inyupa
Hung puruk bundang atun sadia
Tapi mandua batenung jiwa

Karna je nggau petak malai buluh marindu
Mangat atei huang tau balemu
Sana jite je jadi dinu
Takiri manuk baputi tau manandu

Balu aku je bara hunjun
Jaka ku tau bilak tarawang
Kahanjak atei karangkan huang
Atei jantung umbet bahimang

Sana aku mulai mahapa
Telu jumahat katahin amala
Buluh marindu sarat sarita
Mangat tiung mules halua

Sana tiung je jadi dumah
Palus ku misek je buah-buah
Ampi tiung bagulung tumbah
Dengan je bakas ie manyarah

Sarita jituh dia imanjang
Sarita munduk je hunjun sambang
Lenge nahanan je batang sawang

Ienyaksi awi je Putir santang.