Senin, 05 Oktober 2015

Kisah Perjalanan Menuju Puruk Bundang


         Saya dilahirkan dan tumbuh besar di Kota Kuala Kapuas Kalimantan Tengah, Ayah saya bernama Dijat Apil. Lahir di Desa Dadahup(termasuk daerah alur sungai Barito) pada tahun 1933. Beliau meninggal dunia pada tahun 2000. Ibu saya bernama Durce Rasan Ramin yang lahir di Desa Buntoi Kahayan Hilir.
Sebelum saya menceritakan tentang perjalanan menuju Puruk Bundang, terlebih dahulu saya sampaikan sedikit kisah tentang Ayah saya yang menjadi latar belakang inspirasi saya dahulu, sebagai anak muda yang memutuskan untuk melakukan perjalanan yang dianggap tidak wajar pada jaman sekarang. Ayah saya dimata anak dan cucunya, dikenal sebagai pencerita kisah tentang kepahlawanan dayak, yang sering dikisahkan beliau dalam bentuk cerita Panglima yang punya kesaktian dan membela suku dan tanah nenek moyangnya, hampir setiap ada kesempatan berkumpul bersama anak cucunya, dia sempatkan untuk bercerita.
Ayah dikenal sebagai pegawai yang jujur sebagai bendahara di kantor Pertanian, bahkan kejujuran itu dikenang dalam kisah beliau saat bekerja sebagai PNS yaitu sebagai bendahara di Kantor Pertanian Kuala Kapuas, suatu ketika saat bekerja mengurus pengambilan uang di Palangka Raya, beliau tidak menyangka membawa uang lebih, hal itu diketahuinya setelah ia menghitung uang setibanya di Kuala Kapuas, ternyata dari pengambilan uang keperluan Kantor, terdapat kelebihan bayar Rp. 200.000,- dari uang yang diterimanya yang diserahkan oleh pegawai di Palangka Raya tempatnya berurusan. Merasa menerima uang yang bukan haknya, ayah yang dikenal atas kejujurannya berusaha mengembalikan uang tersebut ke Palangka Raya, hingga bagaimana ceritanya beliau tiba di Palangka Raya dan menceritakan komentar pegawai di Palangka Raya pada keluarga kami dirumah sekembalinya dari Palangka Raya, “seharusnya uang tersebut tidak usah bapak repot-repot kembalikan pada kami, itu kekeliruan kami, sampai-sampai bapak mau mengembalikannya padahal kami tidak tau uang tersebut lebih kami serahkan kepada bapak”. Pengetahuanku Palangka Raya sangatlah jauh, dulunya untuk menuju Palangka Raya hanya bisa dicapai melalui kapal air dengan lamanya perjalanan satu hari satu malam.
Pada waktu itu saya baru lulus sekolah (SMA) di Kuala Kapuas pada tahun 1982. Di masa kepegawaiannya, sepengetahuanku tidak pernah Ayah memanfaatkan kesempatan untuk menekan orang lain agar menerima kami salah satu anaknya pun, yang berjumlah 10  orang : lima laki-laki dan lima perempuan, untuk bekerja di instansi pemerintah saat itu, intinya Ayah tidak memanfaatkan jabatannya sebagai hadiah atas jasanya membantu orang lain ataupun karena kenalannya dengan pejabat yang dikenalnya untuk menerima kami sebagai pegawai, agar kami diterima menjadi pegawai di manapun dia punya koneksi. Kami mencari kerja dengan upaya sendiri setelah tamat SMA. Akhir karirnya sebagai PNS Ayah menerima penghargaan sebagai pegawai teladan. Kisah ayah mempengaruhi saya, hingga kisah-kisah tersebut tersimpan bagai petunjuk berharga untuk memulai perjalanan dalam pencarian jati diri di masa muda, sesuai cerita yang sering dikisahkannya dan sifat beliau membentuk sifat saya sebagai anaknya.
Perjalanan yang saya ceritakan ini dimulai pada tahun 1988. Saat itu usia saya sudah 27 tahun. Saya memutuskan untuk mengembara ke arah matahari terbit tepatnya di Desa Maruei. Disini saya tinggal selama ±1 tahun, di rumah  bapak yang bernama Bato, beliau sangat baik hati hingga saya pun dijadikan anak angkatnya. Umurnya pada waktu itu sekitar 89 tahun,. Bapak angkat saya ini sudah mempunyai anak, yaitu 3 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan. 
Pada suatu malam, didalam rumahnya yang sederhana, saya bertanya kepadanya, di hadapan Ibu angkat saya yang berumur 87 tahun, tampaknya mereka berdua kelihatan sehat walaupun usianya sudah cukup tua, yang saya tanyakan ada hubungannya dengan mimpi saya, pada malam sebelumnya “Pak, apa artinya seorang perempuan tua datang kesini sambil mengunyah sirih sampai-sampai mulutnya pun merah seperti darah dan berkata pada saya, kata nenek itu memperkenalkan dirinya pada saya. Cucu, saya bernama Manyang Urai yang sengaja datang menemui kamu, bahwa kamulah turunan ke-4 yang bisa naik ke Puruk Bundang. Setelah nenek itu berkata kepada saya, nenek tersebut menyerahkan sirih  yang sudah dikunyah dari mulutnya, tanpa berpikir lagi, seketika saya ambil sirih itu.Nenek tadi menghilang dari hadapan saya dan saya pun terbangun dari tidur”.
            Setelah mendengar cerita mimpi itu, ayah angkat saya langsung mengartikan mimpi yang saya ceritakan, katanya “Sekitar tahun 1948, kami bertiga pernah naik ke Puruk Bundang bersama-sama yang pertama saya sendiri, yang kedua Kapten Milono, yang ketiga Tjilik Riwut dari Palangka Raya.“Kalau mendengar petunjuk dari mimpi anak malam tadi, kamulah orangnya” mendengar perkataan Ayah angkat, saya sempat terkejut karena mimpi tersebut ternyata berhubungan dengan turunan ke-4 yang naik ke Puruk Bundang. Setelah mendengar petunjuk baik dari mimpi yang diartikan oleh Ayah angkat, dan berkisah panjang lebar tentang Puruk Bundang, demikianlah malam itu saya memutuskan besok pagi untuk mendaki Puruk Bundang. Tidak terasa perbincangan kami bertiga sampai larut malam hingga menunjukkan jam 2 pagi,  kantuk memaksa kami untuk beranjak ke tempat tidur, beralaskan tikar, walaupun tidur di tempat seadanya namun saat itu saya dapat tidur dengan lelap.
Dipagi harinya saya terbangun ketika matahari sudah terbit. Ayah dan ibu angkat saya sudah mempersiapkan air minum berupa kopi dan sarapan pagi, kami pun bersama-sama menikmati makanan dan minuman, juga tersedia regan terbuat dari buah tongkai sejenis buah durian yang dimasukan kedalam bambu yang dibakar supaya matang. Bersamaan hal pembicaraan kami tadi malam, ayah angkat saya berkata,”Anakku kamu harus berangkat besok pagi-pagi sekali biar nanti Ayah mengantar kamu kemuara jalan, tapi lebih dahulu kita menuju Desa Bundang dan dari sini kita menggunakan kelotok”.
            Sebelum saya berangkat,  ibu angkat membuat ketupat Sinta sebesar genggaman, dan merebus telur ayam kampung sebanyak masing-masing 7 biji, juga menyiapkan air dingin didalam bambu yang cukup besar. Ibu angkat berkata kepada saya, “hanya inilah persiapan makananmu dalam perjalanan menuju Puruk Bundang seperti pengalaman Bapakmu dulu bersama-sama dua rekannya, mudah-mudahan anak selalu dalam dampingan Sahut Parapah, uka ewen tau ngagulu anak, uka tau bahasil” dengan berbahasa Kapuas Ngaju kepada saya, lanjut Ibu angkat saya berkata “Mudah-mudahan Tambun ewen due Bungai tatap manganggulu anak hong jalanan mengejau kare dahiang taluh papa je handak manderuh anak”, demikian doa dari ibu angkat agar selama dalam perjalanan dapat selamat dari segala bahaya. Setelah Ibu angkat selesai mempersiapkan segala yang diperlukan maka datanglah Bapak angkat saya.” Mari kita berdua berangkat ke Desa Bundang dan di perkirakan waktu menggunakan kelotok menuju Desa tersebut sekitar empat jam dari Maruei” kata ayah angkat saya.
            Kemudian ayah angkat saya berpesan .”Setelah sampai nanti kita jangan sampai diketahui oleh orang Kampung, dan saya hanya bisa menunjukan muara jalan, dan saya memberikan kayu ini untuk kamu nanti menggunakannya dengan cara dikunyah pada waktu menuju Puruk Bundang. Mudah-mudahan benda ini bisa membantu anak dalam perjalanan dan pesanku jangan sama sekali melihat kebelakang, dari muara jalan ini anak harus jalan lurus menuju arah matahari terbit. Jika sudah mulai malam anak istirahat tidur bersila seperti orang yang bertapa atau bersemedi dan tetap menuju arah Matahari terbit dan membelakangi matahari terbenam, cuma itulah petunjuk Bapak yang harus anak ingat”. Selesai menyampaikan pesannya, beliau  langsung  membalikan  badannya, tanpa menoleh dan kembali ke Maruei.
Sebelum melangkahkan kaki, kulihat waktu sekitar jam tiga sore. Tanpa menoleh kebelakang, sambil membawa perbekalan menuju arah yang sesuai dengan hakikat hati.  Anehnya selama dalam perjalanan, saya tidak dapat mengetahui dengan jelas apakah hari ini sudah mulai gelap atau belum, sedangkan waktu saya berjalan kira-kira sudah sekitar empat jam berlalu dan hari masih terasa terang benderang tanpa ada kesulitan, terus melangkahkan kaki kedepan. Ditengah perjalanan menuju Puruk Bundang saya sempat terkejut mendengar suara seseorang dari balik pepohonan yang besar, katanya” Cucuku menolehlah kesebelah kanan sebentar, cucu bisa meminta bagian cucu yaitu berupa kayu sangkalemu. caranya cucu mengambil, petik dulu daun yang hidup didepanmu, kemudian langsung cucu lempar kearah kayu sangkalemu tersebut”. Kayu yang dimaksud berada hanya beberapa langkah di samping kananku. Saya pun terkejut melihat bermacam-macam binatang, dan burung-burung diwilayah pohon kayu tersebut berada, semuanya seakan-akan tak berdaya untuk keluar dari tempat kayu sangkalemu tersebut berada. Sayapun bertekad untuk menuju kayu tersebut, melewati binatang yang berada di lokasi yang kutuju, melangkah menghindari ular-ular yang bermacam-macam warnanya ditanah tempat kayu sangkalemu tersebut berada. Selanjutnya saya memetik daun hidup, sesuai petunjuk yang kudengar tadi dan melemparkannya, kemudian langsung berlari menjauh setelah mendapatkan dahan kayu sangkalemu.
Setelah itu saya melanjutkan perjalanan ke Puruk Bundang atau Gunung Bundang, naik turun hutan rimba, karena mulai lelah saya pun istirahat sejenak makan, minum dan merokok. Selesai istirahat saya langsung berjalan lagi ketempat apa yang sudah menjadi niat hati saya, begitulah seterusnya berlanjut perjalanan saya hingga tiba pada suatu tempat dengan pemandangan yang begitu indah terlihat, bermacam-macam bunga berwarna- warni seakan-akan menanti kedatanganku, disekeliling tercium aroma bunga yang harum, dan tidak jauh terlihat didepan seperti benteng batu yang tinggi, jadi saya perkirakan ini lah namanya Puruk Bundang.
            Singkat ceritanya setelah menikmati keindahan sekitar, saya pun tertidur dengan kaki bersila seperti orang yang bertapa dan tetap menuju arah matahari terbit dan membelakangi matahari terbenam, bersandar pada batu menyerupai benteng yang sangat tinggi. Dalam tidur ku bermimpi melihat Bidadari sebanyak 7 orang, dengan berpakaian berwarna kuning keemasan, pada waktu itu saya merasa menatap salah satu perempuan yang sangat cantik. Salah seorang dari mereka menyapa saya dengan berbahasa dayak ngaju, katanya” Baya jituh je nengakuh akam akan penyang, kareh imbungkus dengan kain baputi je nyuang huang Cupu helu dan amun ikau perlu aku tehau arang kuh… huang kasasat kalurat dan tinai sahindai ikau buli kareh ingat-ingat manyurat aram huang Turunan kaepat intu batu ekam basantah. Dalam mimpi tersebut, Bidadari memberikan sesuatu untukku yang dapat digunakan nantinya di saat-saat ku memerlukannya dan mengigatkanku untuk menorehkan nama pada batu tempatku bersandar. Seketika Bidadari itu selesai bicara, saya terbangun dari tidur, teringat apa yang dibicarakannya dan berusaha menemukan petunjuk sesuai mimpi yang baru saja saya alami.
Saya kemudian menoleh kebelakang tempat saya bersandar, terlihat nama yang pertama Bato, Kedua Milono, Ketiga Tjilik Riwut. Sesuai petunjuk, saya pun menulis nama saya, tertulis nama MANLI dengan hurup Kapital didinding batu itu, nama saya yang keempat dengan menggunakan keris pusaka turun-temurun dari kakek. Keris berkelok lima. Setelah merasa cukup saya pun istirahat makan, persediaan saya tersisa tiga telur ayam  dan ketupat sinta, untuk persediaan kembali pulang dari atas Puruk Bundang hanya tersisa satu biji telur dan satu biji ketupat sinta. Kemudian setelah merasa cukup lama dan niat hati sampai Puruk Bundang terwujud, sayapun melangkahkan kaki turun kebawah sambil mengangkat kedua tangan keatas, karena merasa gembira niat hati sudah terkabulkan.
Singkat cerita, perjalanan saya turun terasa lebih singkat daripada mendaki, hingga tidak terasa sudah sampai muara jalan tempat asal dan ditunggu oleh Bapak angkat saya, katanya “Dua hari dua malam perjalanan anak pulang pergi dalam hitungan ayah”.
Demikianlah perjalanan saya menuju puruk bundang. Semoga Cerita ini tidak dianggap sebagai  pengumbar keberanian di masa muda, karena bukanlah demikian maksud cerita ini dikisahkan, tetapi kuanggap sebagai bagian dari pencarian jati diri sebagai anak dayak. Cerita ini saya kisahkan untuk mengenang kembali ke masa muda saya yang masih dalam pencarian jati diri sebagai orang yang berani namuei/merantau mencari pengetahuan tentang kisah-kisah nenek moyang yang tidak banyak tertulis namun dituturkan secara langsung oleh orang-orang tua kepada anak cucunya tentang suatu lokasi keramat dan menjadi tempat yang dihormati, yang berhubungan dengan penambahan kepercayaan diri sebagai orang dayak yang memiliki pengetahuan berdasarkan pengalaman melalui kisah orang tua dan tokoh masyarakat sebelumnya, dimana mengalami sesuatu hal yang gaib dan mistis dulunya sebagai sumber peningkat kepercayaan diri, dan pengakuan akan luasnya perjalanan hidup di masa muda di tempat yang sangat dijunjung dan dihargai sebagai tempat yang sakral oleh nenek moyang dan masyarakat sekitar.

Catatan :
Dulunya untuk mengecap pendidikan formal yang lebih tinggi, saya beserta kesembilan saudara kandung, sudah cukup bangga mengenyam pendidikan hingga tingkat SMA, karena ketidakmampuan biaya. Untuk melanjutkan pendidikan ke lebih tinggi itu adalah upaya sendiri, sehubungan untuk membiayai sekolah kami, ayah sebagai PNS yang  menerima penghasilan, tanpa diragukan lagi adalah benar-benar didapatkannya dari gaji bulanannya yang kukira cukup untuk membesarkan kami, dan kami tidak pernah dididik untuk menjadi pengusaha, sehubungan tidak ada keluarga usahawan, dan dulunya kulihat demikian juga berlaku bagi kami uluh Kapuas (orang yang tinggal di aliran sungai Kapuas)lainnya, kebanyakan apabila tidak dapat menjadi seorang pegawai pemerintah ataupun sebagai karyawan swasta, kebanyakan akan menjadi petani musiman serta mengharapkan hasil alam baik menambang emas dan menebang kayu hutan untuk dijual, sebelum kata illegal mining dan illegal logging kerap dikenal orang dayak dan kini membuat mereka berurusan dengan aparat keamanan, yang kini sumber daya alam tersebut makin terbatas.
Kini benar sulit mencari tempat yang benar-benar dianggap keramat dan dihormati, bahkan tanah yang sejak lama dijaga oleh nenek moyang sebagai tempat berburu dan mencari ikan : dijadikan beje dimanfaatkan sebagai tempat ikan berkumpul ketika musim hujan berganti musim kemarau, kini diganti perusahaan-perusahaan, contohnya perusahaan sawit yang kini mulai mengakui tanah tersebut sebagai areal mereka. Demikian juga tanah yang letaknya tidak jauh dari keramaian, apabila lalai digarap akan menjadi milik developer perumahan, yang tiba-tiba sudah mengantongi ijin pembangunan, dan menimbulkan pertikaian dengan masyakarat penggarap namun tidak memiliki pengetahuan tentang pentingnya mengurus surat tanah.
Modal besar perusahaan dan pengusaha kaya, memang menjanjikan pembukaan lahan dan pengelolaan serta pembangunan yang cepat hingga secara tampak tidak disengaja saking cepatnya tidak menyadari bahwa tanah nenek moyang kita dan kesakralannya hampir tidak ada lagi, bahkan kisah mistis dan kepahlawanan yang mengikutinyapun hampir tidak terdengar lagi.
 Masyarakat pendatang dengan pendidikan yang tinggi dan mampu bersaing sudah terlalu banyak, bahkan sulit mengejar kecerdasan mereka yang lulusan sekolah dari luar Kalimantan Tengah, yang tentunya lebih maju sarana dan prasarananya dari kota kita yang beberapa tahun sebelumnya hanyalah hutan rimba. Demikian harapan bagi saudaraku yang bisa sepemikiran, hindarilah tergesa-gesa menjual dan menyerahkan tanah hanya untuk hal yang bersifat sesaat, bahkan jagalah dan sahkanlh bahwa tanah itu milikmu, dengan merawatnya dan tidak lupa membuat surat menyuratnya, baiklah sebelumnya pikirkanlah anak cucu kita, apabila nantinya tidak ada tempat atau tanah untuk diolah sendiri, dan memilih tinggal semakin ke daerah pedalaman di tanah yang bukan milik sendiri ataukah meriuh suasana kota yang semakin sempit dan mulai tidak percaya diri. Baiklah menyisakan tempat mengolah tanah sendiri oleh dan untuk anak cucu kita, dan mempercayakan mereka bahwa kita juga bisa mengolah tanah kita sendiri tanpa mengharap banyak bekerja sebagai PNS dan karyawan swasta yang tenaga dicarinya hanya 1 : 3, 1 untuk lowongan pekerjaan dan tersisa 2 untuk pengangguran.
Catatan ini saya akhiri, sembari membagi pemikiran berdasarkan pengalaman yang saya alami, mengenang masa hidup orang yang saya hormati, baik ayah kandung saya yang  memilih kariernya sebagai PNS dan pensiun, akibat penyakit tekanan darah tingginya, dan serangan stroke untuk yang ketiga kalinya membuatnya meninggal dunia di usianya yang ke 67 tahun. Namun kisahnya kepada kami tentang kisah-kisah Panglima Dayak dan kisah mistis suatu tempat dan tentang wilayah keramat yang menjadi legenda tetap terasa hidup agar masa itu tidaklah lenyap hanya sebagai kisah yang sirna belaka tanpa dijaga. Dan tentunya sifat dasar kita manusia tidak akan mudah percaya pada suatu hal, apalagi kisah tersebut tentang hal keramat, yang sekarang belum tentu bisa ditemukan kembali tempatnya, akibat tidak adanya keinginan menjaga tanah leluhur.  Demikian juga ayah angkat dan ibu angkat saya yang selalu tampak sehat, bekerja dengan hidup bersama alam dan memanfaatkan hasil alam yang tersedia, dapat berumur panjang hingga umur lebih dari 80 tahun, dan anehnya saya dapat tidur nyenyak tinggal dalam kesederhanaan rumah mereka, mereka selalu menerima orang luar dalam keluarganya, bahkan mereka mengangkatku sebagai anak angkat. Bahkan lebih dari itu ayah dan ibu angkat akan selalu menerima anak muda yang mencari kepercayaan dirinya, dengan mengingat leluhur dan tanah moyangnya, akan diterima dan dibimbing untuk diberikan petunjuk bahwa kita juga harus ikut serta menorehkan nama untuk menjaganya tetap abadi.
              
  



            Tampak gambar ini sekitar tahun 1988, foto saya dari kiri sambil memegang dua helai bulu Burung Haruei dan disebelah kanan adalah Bapak angkat saya bernama “Bato” (seorang Kepala Dusun) di Kampung Maruei daerah Puruk Cahu.yang telah mengantar sampai muara kaki Gunung Bundang atau Puruk Bundang diwilayah Barito (Puruk Cahu).

Karungut ini saya karang, berdasarkan kisah perjalanan saya menuju Puruk Bundang :
Karungut Petak Malai Bulu Marindu

Tahi manunyang kapehen huang
Katahin lihi tiung tarawang
Bilak lumpat jalan malekat
Karena Buli Hajamban Surat

Bukei itung karangkan niat
Manggau ilmu je paling harat
Hapus nyelu baganti bulan
Tulak mangarik hulu Kahayan

Lepah lewu uras nasaran
Tapi ampi jatun panduan
Mules tinai Kapuas Murung
Sampai Barito murik nahusung
Puri, ampah je Runduk patung
Taluh je nggau hindai tanturung

Halau lepah je bontok tiwei
Murik mimbit kapehen atei
Mun dia dinu minyak karuhei
Bara buli buang keleh ku matei

Tukep Puruk Cahu atun Carita
Taluh je nggau tau inyupa
Hung puruk bundang atun sadia
Tapi mandua batenung jiwa

Karna je nggau petak malai buluh marindu
Mangat atei huang tau balemu
Sana jite je jadi dinu
Takiri manuk baputi tau manandu

Balu aku je bara hunjun
Jaka ku tau bilak tarawang
Kahanjak atei karangkan huang
Atei jantung umbet bahimang

Sana aku mulai mahapa
Telu jumahat katahin amala
Buluh marindu sarat sarita
Mangat tiung mules halua

Sana tiung je jadi dumah
Palus ku misek je buah-buah
Ampi tiung bagulung tumbah
Dengan je bakas ie manyarah

Sarita jituh dia imanjang
Sarita munduk je hunjun sambang
Lenge nahanan je batang sawang

Ienyaksi awi je Putir santang.

Sabtu, 02 Januari 2010

DAMANG BAHANDANG BALAU

Legenda Damang Bahandang Balau Kampung Dadahup


Konon ceritanya di daerah perkampungan Suku Dayak yang disebut Kampung Dadahup, termasuk daerah aliran sungai Barito dan masyarakatnya pada waktu itu masih belum mengenal dunia luar. Memang mereka pada asal mulanya berasal dari Tumbang Kapuas dari Betang Sei Pasah yang didirikan sekitar tahun 1836, sehingga dari keluarga Damang Bahandang Balau berangsur-angsur pindah dan bermukim / mendirikan suatu perkampungan yang disebut Kampung Dadahup.

Disinilah timbul legenda Damang Bahandang Balau yang artinya seorang Damang yang berambut warna merah memang sejak dari lahir. Damang Bahandang Balau adalah seorang petapa berambut panjang hingga kurang lebih 3 meter dan ia berilmu tinggi. Ia mempunyai Keris Pusaka kelok 3 berwarna keemasan pemberian orang gaib pada waktu bertapa, yang keampuhannya adalah bisa bernapas didalam air beberapa hari sesuai dengan keinginan yang dikehendakinya.

Disuatu hari pernah terjadi hal yang nyata pada waktu perkawinan Adik Damang Bahandang Balau yang bernama Nyai Mating seorang yang berparas cantik. Selesailah acara perkawinannya pada sore hari. Sore itu warna langit berwarna kekuning-kuningan. Turunlah mempelai perempuan (Nyai Mating) dari dalam rumah, karena dia telah mendengar suara memanggil-manggil namanya, seakan-akan dirinya telah terkena sirep(pengaruh) yang tidak wajar, dia keluar dari dalam rumah padahal sebelum diadakan perkawinan Adiknya, Damang Bahandang Balau sudah berpesan kepada adik dan iparnya, kata Damang Bahandang Balau “Jika telah selesai perkawinan nanti sebelum saya datang, supaya jangan sama sekali keluar dari dalam rumah”.maka gemparlah seisi rumah setelah mengetahui Nyai Mating menghilang.

Bersamaan dengan kejadian tersebut, seakan-akan Damang Bahandang Balau sudah mengetahui apa yang terjadi kepada adik kandungnya (Nyai Mating) maka dengan wajah yang tenang, Damang Bahandang Balau langsung mengeluarkan keris pusakanya serta mengangkat tangan dan kerisnya kearah dimana adiknya Nyai Mating itu menghilang, dan Damang Bahandang Balau langsung dengan keris pusakanya yang mengeluarkan sinar keemasan, menyelam kedalam air dan disaksikan oleh sanak saudaranya yang seakan-akan terbelah dua air yang dipijaknya.

Selama 3 hari 3 malam berada dialam gaib dibawah air. Disitulah Damang Bahandang Balau melihat mahluk air semacam manusia tetapi berkepala buaya serta kerajaan buaya yang Rajanya memakai pakaian berwarna keemasan.

Bersamaan hal itu Damang Bahandang Balau melihat adiknya dalam dekapan Raja Buaya yang memakai mahkota serta dikelilingi oleh Prajuritnya.

Dengan baik-baik Damang Bahandang Balau meminta adik kandungnya kepada Raja Buaya, karena tidak dituruti maka dengan geramnya Damang Bahandang Balau mengamuk dan membantai ratusan prajurit buaya. Melihat hal demikian maka Raja Buaya melerai para prajurinya dan berhentilah pertempuran tersebut. Maka berbicaralah Raja Buaya kepada Damang Bahandang Balau dan langsung menyerahkan adiknya kepada Damang Bahandang Balau, “Cuma saya minta supaya dari anak cucu kita nanti jangan sampai bermusuhan”. Kata Raja Buaya.

Setelah pembicaraan dan permintaan Raja Buaya selesai, tanpa banyak bicara Damang Bahandang Balau langsung membawa adiknya (Nyai Mating) keluar dari dalam air atau alam gaib dibawah air dan munculnya tepat ditempat asalnya turun. Melihat kembalinya Damang Bahandang Balau dan adiknya, sanak saudaranya menyambut dengan rasa gembira .

Setelah dialam manusia, terkejutlah Damang Bahandang Balau dan adiknya ketika melihat banyaknya bangkai buaya, kemudian diperintahkannya ipar dan saudar-saudaranya untuk membuat lubang yang cukup besar, ke arah hulu dari Kampung Dadahup, tempat menguburkan bangkai-bangkai buaya. Setelah selesainya penguburan itu dan berangsur-angsur pula saudara-saudara Damang Bahandang Balau berminat untuk mendirikan satu perkampungan yang dinamakan oleh mereka yaitu Kampung Tambak Bajai, sehingga sampai Zaman sekarang telah menjadi sebuah Desa Tambak Bajai.

Foto Sei Dadahup


Dalam bukti legenda tersebut, terdapat suatu peninggalan berupa rambut 7 helai yang panjangnya 3 meter berwarna merah, bukti tersebut masih ada dari turunan Damang Bahandang Balau yang disimpan oleh warga Telekung Punei yang termasuk dalam wilayah Dadahup Kec.Kapuas Murung Kab.Kapuas (Kalteng), konon cerita dari rambut tersebut diambil dari dalam kuburan Damang Bahandang Balau tepatnya pada waktu mengadakan Ritual Tiwah setelah pembongkaran kuburan Damang Bahandang Balau.

Pada saat pembongkaran, papan-papan kuburannya yang terbuat dari kayu pantung atau jelutung yang sudah bertahun-tahun dalam keadaaan tidak rusak, namun anehnya semua tulang-tulang yang akan diambil menggaib, hanya tersisa rambut sebanyak 7 helai saja dan letaknya pun seperti diatur terlebih dulu, dan hingga sampai sekarang barang bukti tersebut masih ada. (Nara sumber : Duyen Apil Alm)

Selasa, 22 Desember 2009

Hak Ulayat


Menteri Agraria / Kepala BPN
Peraturan Nomor : 5 tahun 1999 .
Tentang Pedoman Penyelesaian masalah Hukum Adat, Hak ulayat masyarakat dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah melaksanakan urusan pertanahan khususnya hubungan dengan masalah hak ulayat masyarakat, Hukum adat yang nyata – nyata masih ada di daerah yang bersangkutan dengan penyelesaian sebagai berikut :
Mengenai muatan lokal pokok dan maksud dikeluarkannya peralihan peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsif pengakuan terhadap “ Hak ulayat dan hak- hak serupa itu dari masyarakat, Hukum Adat “ sebagaimana di maksud dalam pasal 3 undang – undang nomor. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok – pokok agraria ( Undang – Undang pokok Agraria ).
Kebijaksanaan tersebut meliputi :
yang
  1. Penyamaan Persepsi mengenai “ Hak Ulayat “ ( Pasal 1 ).
  2. Krateria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak – hak yang serupa dan masyarakat Hukum Adat ( Pasal 2 dan Pasal 5 ).

PELAKSANAAN PENGUASAAN TANAH ULAYAT

Pasal 2
  1. Pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat Hukum Adat yang masih bersangkutan menurut ketentuan Hukum Adat setempat.
  2. Hak ulayat hukum adat dianggap masih ada apabila :
  • Terdapat sekelompok orang yang masih terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan – ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari – hari.
  • Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekuatuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari – hari.
  • Terdapat tatanan Hukum Adat mengenai pengurusan dan penggunaan tanah ulayat berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. yang

Pasal 3
Pelaksanaan hak ulayat masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada pasal 2 olehperseorangan dan Badan hukum dapat dilakukan terhadap bidang – bidang tanah yang pada saat ditetapkannya peraturan daerah ( PERDA ) sebagaimana dimaksud pasal 6 :
  1. Sudah dipunyai oleh perseorangan atau Badan Hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang – Undang Pokok Agraria.
  2. Merupakan bidang – bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh Instansi Pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku.

Pasal 4
  1. Penguasaan Undang – Undang Tanah yang termasuk Tanah Ulayat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 oleh perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan :
  • Oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan, hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah sesuai menurut ketentuanUndang – Undang Pokok Agraria ;
  • Oleh Instansi Pemerintah, badan hukum dan perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan Undang – Undang Pokok Agraria berdasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum ada pun yang berlaku.
  • Pelepasan Tanah Ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (b) untuk keperluan Pertanian dan keperluan lain yang memerlukan hak guna usaha atau hakpakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu.

I. TENTANG HAK ULAYAT
Undang – Undang tentang hak ulayat No … Pasal 1858 memang sudah berjalan Cuma penjabaran oleh Kedemangan – Kedemangan Kota maupaun pedesaan sosialisasinya belum terpenuhi yang isinya sebagai berikut :
  1. Hukum adat tentang hak ulayat menerangkan tanah hutan kemasyarakat adalahdikuasai oleh Pemerintah sepenuhnya sesuai Undang – Undang dan peraturan yang berlaku.
  2. Hak ulayat yang berbunyi tentang tanah hutan kemasyarakatan yang diatur olehPemerintah sesuai Undang – Undang 1945 adalah Tanah hutan kemasyarakatan yang dikuasai oleh Desa masing – masing atau tata batas antara Desa dengan Desa lain. Serta pengembangan terhadap pengembangan pembangunan Desa.

II. MAKSUD DAN TUJUAN HUKUM ADAT TENTANG HAK ULAYAT.
  1. Sejak zaman leluhur sejak terjadinya peristiwa peristiwa – peristiwa bentrok yang berkepanjangan atau pertikaian antara suku – suku dayak pedalaman, sehingga terjadinya kesepakatan antara Tokoh – Tokoh masyarakat Dayak dari semua penjuruKampung – kampung akan mengadakan rapat Kepala Suku dan Damang – Damang di Tumbang Anoi sejak tahun 1894 adalah perdamaian antara Suku – Suku DayakKalimantan pada umumnya. /
  2. Penjelasan tentang hak ulayat yang diatur oleh hukum adat yang menyangkut, pohon-pohon besar yang dianggap keramat bagi Suku Dayak, sitas – sitas yang bersifat sakral, sandung – sandung / kuburan yang dikeramatkan, serta membuka hutan yang diberi tanda / sariang, hal ini berarti ada masyrakat yang ingin membuka lahan hutan untuk tujuan berladang atau berkebun. –
  3. Tutur kutak dari Nenek Moyang / Leluhur mengatakan hak ulayat sebenarnya menyangkut Hukum, Adat Dayak adalah dari sisi sungai dibunyikan sebuah gong, jika masih terdengar dari atas atau ke darat berarti itulah. Hak ulayat sesuai hukum adat dayak seluas ± 5 km.