Saya dilahirkan dan
tumbuh besar di Kota Kuala Kapuas Kalimantan Tengah, Ayah saya bernama Dijat
Apil. Lahir di Desa Dadahup(termasuk daerah alur sungai Barito) pada tahun 1933.
Beliau meninggal dunia pada tahun 2000. Ibu saya bernama Durce Rasan Ramin yang
lahir di Desa Buntoi Kahayan Hilir.
Sebelum saya menceritakan tentang perjalanan menuju
Puruk Bundang, terlebih dahulu saya sampaikan sedikit kisah tentang Ayah saya
yang menjadi latar belakang inspirasi saya dahulu, sebagai anak muda yang
memutuskan untuk melakukan perjalanan yang dianggap tidak wajar pada jaman
sekarang. Ayah saya dimata anak dan cucunya, dikenal sebagai pencerita
kisah tentang kepahlawanan dayak, yang sering dikisahkan beliau dalam bentuk
cerita Panglima yang punya kesaktian dan membela suku dan tanah nenek
moyangnya, hampir setiap ada kesempatan berkumpul bersama anak cucunya, dia
sempatkan untuk bercerita.
Ayah dikenal sebagai pegawai yang jujur sebagai
bendahara di kantor Pertanian, bahkan kejujuran itu dikenang dalam kisah beliau
saat bekerja sebagai PNS yaitu sebagai bendahara di Kantor Pertanian Kuala
Kapuas, suatu ketika saat bekerja mengurus pengambilan uang di Palangka Raya,
beliau tidak menyangka membawa uang lebih, hal itu diketahuinya setelah ia
menghitung uang setibanya di Kuala Kapuas, ternyata dari pengambilan uang
keperluan Kantor, terdapat kelebihan bayar Rp. 200.000,- dari uang yang
diterimanya yang diserahkan oleh pegawai di Palangka Raya tempatnya berurusan.
Merasa menerima uang yang bukan haknya, ayah yang dikenal atas kejujurannya
berusaha mengembalikan uang tersebut ke Palangka Raya, hingga bagaimana
ceritanya beliau tiba di Palangka Raya dan menceritakan komentar pegawai di
Palangka Raya pada keluarga kami dirumah sekembalinya dari Palangka Raya,
“seharusnya uang tersebut tidak usah bapak repot-repot kembalikan pada kami,
itu kekeliruan kami, sampai-sampai bapak mau mengembalikannya padahal kami
tidak tau uang tersebut lebih kami serahkan kepada bapak”. Pengetahuanku Palangka
Raya sangatlah jauh, dulunya untuk menuju Palangka Raya hanya bisa dicapai
melalui kapal air dengan lamanya perjalanan satu hari satu malam.
Pada waktu itu saya baru lulus sekolah (SMA) di Kuala
Kapuas pada tahun 1982. Di masa kepegawaiannya, sepengetahuanku tidak pernah Ayah
memanfaatkan kesempatan untuk menekan orang lain agar menerima kami salah satu
anaknya pun, yang berjumlah 10 orang :
lima laki-laki dan lima perempuan, untuk bekerja di instansi pemerintah saat
itu, intinya Ayah tidak memanfaatkan jabatannya sebagai hadiah atas jasanya
membantu orang lain ataupun karena kenalannya dengan pejabat yang dikenalnya
untuk menerima kami sebagai pegawai, agar kami diterima menjadi pegawai di
manapun dia punya koneksi. Kami mencari kerja dengan upaya sendiri setelah
tamat SMA. Akhir karirnya sebagai PNS Ayah menerima penghargaan sebagai pegawai
teladan. Kisah ayah mempengaruhi saya, hingga kisah-kisah tersebut tersimpan
bagai petunjuk berharga untuk memulai perjalanan dalam pencarian jati diri di masa
muda, sesuai cerita yang sering dikisahkannya dan sifat beliau membentuk sifat
saya sebagai anaknya.
Perjalanan yang saya ceritakan ini dimulai pada tahun
1988. Saat itu usia saya sudah 27 tahun. Saya memutuskan untuk mengembara ke
arah matahari terbit tepatnya di Desa Maruei. Disini saya tinggal selama
±1 tahun, di rumah bapak yang
bernama Bato, beliau sangat baik hati hingga saya pun dijadikan anak angkatnya.
Umurnya pada waktu itu sekitar 89 tahun,. Bapak angkat saya ini sudah mempunyai
anak, yaitu 3 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan.
Pada suatu malam, didalam rumahnya yang sederhana, saya
bertanya kepadanya, di hadapan Ibu angkat saya yang berumur 87 tahun, tampaknya
mereka berdua kelihatan sehat walaupun usianya sudah cukup tua, yang saya
tanyakan ada hubungannya dengan mimpi saya, pada malam sebelumnya “Pak, apa
artinya seorang perempuan tua datang kesini sambil mengunyah sirih
sampai-sampai mulutnya pun merah seperti darah dan berkata pada saya, kata
nenek itu memperkenalkan dirinya pada saya. Cucu, saya bernama Manyang Urai
yang sengaja datang menemui kamu, bahwa kamulah turunan ke-4 yang bisa naik ke
Puruk Bundang. Setelah nenek itu berkata kepada saya, nenek tersebut
menyerahkan sirih yang sudah dikunyah
dari mulutnya, tanpa berpikir lagi, seketika saya ambil sirih itu.Nenek tadi
menghilang dari hadapan saya dan saya pun terbangun dari tidur”.
Setelah mendengar
cerita mimpi itu, ayah angkat saya langsung mengartikan mimpi yang saya ceritakan,
katanya “Sekitar tahun 1948, kami bertiga pernah naik ke Puruk Bundang
bersama-sama yang pertama saya sendiri, yang kedua Kapten Milono, yang ketiga
Tjilik Riwut dari Palangka Raya.“Kalau mendengar petunjuk dari mimpi anak malam
tadi, kamulah orangnya” mendengar perkataan Ayah angkat, saya sempat terkejut karena
mimpi tersebut ternyata berhubungan dengan turunan ke-4 yang naik ke Puruk
Bundang. Setelah mendengar petunjuk baik dari mimpi yang diartikan oleh Ayah
angkat, dan berkisah panjang lebar tentang Puruk Bundang, demikianlah malam itu
saya memutuskan besok pagi untuk mendaki Puruk Bundang. Tidak terasa
perbincangan kami bertiga sampai larut malam hingga menunjukkan jam 2 pagi, kantuk memaksa kami untuk beranjak ke tempat
tidur, beralaskan tikar, walaupun tidur di tempat seadanya namun saat itu saya dapat
tidur dengan lelap.
Dipagi harinya saya terbangun ketika matahari sudah
terbit. Ayah dan ibu angkat saya sudah mempersiapkan air minum berupa kopi dan
sarapan pagi, kami pun bersama-sama menikmati makanan dan minuman, juga
tersedia regan terbuat dari buah tongkai sejenis buah durian yang dimasukan
kedalam bambu yang dibakar supaya matang. Bersamaan hal pembicaraan kami tadi
malam, ayah angkat saya berkata,”Anakku kamu harus berangkat besok pagi-pagi
sekali biar nanti Ayah mengantar kamu kemuara jalan, tapi lebih dahulu kita
menuju Desa Bundang dan dari sini kita menggunakan kelotok”.
Sebelum saya berangkat, ibu angkat membuat ketupat Sinta sebesar
genggaman, dan merebus telur ayam kampung sebanyak masing-masing 7 biji, juga
menyiapkan air dingin didalam bambu yang cukup besar. Ibu angkat berkata kepada
saya, “hanya inilah persiapan makananmu dalam perjalanan menuju Puruk Bundang
seperti pengalaman Bapakmu dulu bersama-sama dua rekannya, mudah-mudahan anak
selalu dalam dampingan Sahut Parapah, uka ewen tau ngagulu anak, uka tau bahasil”
dengan berbahasa Kapuas Ngaju kepada saya, lanjut Ibu angkat saya berkata
“Mudah-mudahan Tambun ewen due Bungai tatap manganggulu anak hong jalanan
mengejau kare dahiang taluh papa je handak manderuh anak”, demikian doa dari
ibu angkat agar selama dalam perjalanan dapat selamat dari segala bahaya.
Setelah Ibu angkat selesai mempersiapkan segala yang diperlukan maka datanglah
Bapak angkat saya.” Mari kita berdua berangkat ke Desa Bundang dan di
perkirakan waktu menggunakan kelotok menuju Desa tersebut sekitar empat jam
dari Maruei” kata ayah angkat saya.
Kemudian ayah
angkat saya berpesan .”Setelah sampai nanti kita jangan sampai diketahui oleh
orang Kampung, dan saya hanya bisa menunjukan muara jalan, dan saya memberikan
kayu ini untuk kamu nanti menggunakannya dengan cara dikunyah pada waktu menuju
Puruk Bundang. Mudah-mudahan benda ini bisa membantu anak dalam perjalanan dan
pesanku jangan sama sekali melihat kebelakang, dari muara jalan ini anak harus
jalan lurus menuju arah matahari terbit. Jika sudah mulai malam anak istirahat
tidur bersila seperti orang yang bertapa atau bersemedi dan tetap menuju arah
Matahari terbit dan membelakangi matahari terbenam, cuma itulah petunjuk Bapak
yang harus anak ingat”. Selesai menyampaikan pesannya, beliau langsung
membalikan badannya, tanpa
menoleh dan kembali ke Maruei.
Sebelum melangkahkan kaki, kulihat waktu sekitar jam
tiga sore. Tanpa menoleh kebelakang, sambil membawa perbekalan menuju arah yang
sesuai dengan hakikat hati. Anehnya selama
dalam perjalanan, saya tidak dapat mengetahui dengan jelas apakah hari ini
sudah mulai gelap atau belum, sedangkan waktu saya berjalan kira-kira sudah sekitar
empat jam berlalu dan hari masih terasa terang benderang tanpa ada kesulitan,
terus melangkahkan kaki kedepan. Ditengah perjalanan menuju Puruk Bundang saya
sempat terkejut mendengar suara seseorang dari balik pepohonan yang besar,
katanya” Cucuku menolehlah kesebelah kanan sebentar, cucu bisa meminta bagian
cucu yaitu berupa kayu sangkalemu. caranya cucu mengambil, petik dulu daun yang
hidup didepanmu, kemudian langsung cucu lempar kearah kayu sangkalemu tersebut”.
Kayu yang dimaksud berada hanya beberapa langkah di samping kananku. Saya pun
terkejut melihat bermacam-macam binatang, dan burung-burung diwilayah pohon
kayu tersebut berada, semuanya seakan-akan tak berdaya untuk keluar dari tempat
kayu sangkalemu tersebut berada. Sayapun bertekad untuk menuju kayu tersebut, melewati
binatang yang berada di lokasi yang kutuju, melangkah menghindari ular-ular
yang bermacam-macam warnanya ditanah tempat kayu sangkalemu tersebut berada. Selanjutnya
saya memetik daun hidup, sesuai petunjuk yang kudengar tadi dan melemparkannya,
kemudian langsung berlari menjauh setelah mendapatkan dahan kayu sangkalemu.
Setelah itu saya melanjutkan perjalanan ke Puruk Bundang
atau Gunung Bundang, naik turun hutan rimba, karena mulai lelah saya pun
istirahat sejenak makan, minum dan merokok. Selesai istirahat saya langsung
berjalan lagi ketempat apa yang sudah menjadi niat hati saya, begitulah
seterusnya berlanjut perjalanan saya hingga tiba pada suatu tempat dengan pemandangan
yang begitu indah terlihat, bermacam-macam bunga berwarna- warni seakan-akan
menanti kedatanganku, disekeliling tercium aroma bunga yang harum, dan tidak
jauh terlihat didepan seperti benteng batu yang tinggi, jadi saya perkirakan
ini lah namanya Puruk Bundang.
Singkat ceritanya
setelah menikmati keindahan sekitar, saya pun tertidur dengan kaki bersila seperti
orang yang bertapa dan tetap menuju arah matahari terbit dan membelakangi
matahari terbenam, bersandar pada batu menyerupai benteng yang sangat tinggi.
Dalam tidur ku bermimpi melihat Bidadari sebanyak 7 orang, dengan berpakaian
berwarna kuning keemasan, pada waktu itu saya merasa menatap salah satu perempuan
yang sangat cantik. Salah seorang dari mereka menyapa saya dengan berbahasa
dayak ngaju, katanya” Baya jituh je nengakuh akam akan penyang, kareh imbungkus
dengan kain baputi je nyuang huang Cupu helu dan amun ikau perlu aku tehau
arang kuh… huang kasasat kalurat dan tinai sahindai ikau buli kareh ingat-ingat
manyurat aram huang Turunan kaepat intu batu ekam basantah. Dalam mimpi
tersebut, Bidadari memberikan sesuatu untukku yang dapat digunakan nantinya di
saat-saat ku memerlukannya dan mengigatkanku untuk menorehkan nama pada batu
tempatku bersandar. Seketika Bidadari itu selesai bicara, saya terbangun dari
tidur, teringat apa yang dibicarakannya dan berusaha menemukan petunjuk sesuai mimpi
yang baru saja saya alami.
Saya kemudian menoleh kebelakang tempat saya bersandar,
terlihat nama yang pertama Bato, Kedua Milono, Ketiga Tjilik Riwut. Sesuai
petunjuk, saya pun menulis nama saya, tertulis nama MANLI dengan hurup Kapital
didinding batu itu, nama saya yang keempat dengan menggunakan keris pusaka
turun-temurun dari kakek. Keris berkelok lima. Setelah merasa cukup saya pun
istirahat makan, persediaan saya tersisa tiga telur ayam dan ketupat sinta, untuk persediaan kembali
pulang dari atas Puruk Bundang hanya tersisa satu biji telur dan satu biji
ketupat sinta. Kemudian setelah merasa cukup lama dan niat hati sampai Puruk
Bundang terwujud, sayapun melangkahkan kaki turun kebawah sambil mengangkat kedua
tangan keatas, karena merasa gembira niat hati sudah terkabulkan.
Singkat cerita, perjalanan saya turun terasa lebih
singkat daripada mendaki, hingga tidak terasa sudah sampai muara jalan tempat
asal dan ditunggu oleh Bapak angkat saya, katanya “Dua hari dua malam perjalanan
anak pulang pergi dalam hitungan ayah”.
Demikianlah perjalanan saya menuju puruk bundang. Semoga
Cerita ini tidak dianggap sebagai
pengumbar keberanian di masa muda, karena bukanlah demikian maksud
cerita ini dikisahkan, tetapi kuanggap sebagai bagian dari pencarian jati diri
sebagai anak dayak. Cerita ini saya kisahkan untuk mengenang kembali ke masa
muda saya yang masih dalam pencarian jati diri sebagai orang yang berani
namuei/merantau mencari pengetahuan tentang kisah-kisah nenek moyang yang tidak
banyak tertulis namun dituturkan secara langsung oleh orang-orang tua kepada
anak cucunya tentang suatu lokasi keramat dan menjadi tempat yang dihormati,
yang berhubungan dengan penambahan kepercayaan diri sebagai orang dayak yang
memiliki pengetahuan berdasarkan pengalaman melalui kisah orang tua dan tokoh
masyarakat sebelumnya, dimana mengalami sesuatu hal yang gaib dan mistis
dulunya sebagai sumber peningkat kepercayaan diri, dan pengakuan akan luasnya
perjalanan hidup di masa muda di tempat yang sangat dijunjung dan dihargai
sebagai tempat yang sakral oleh nenek moyang dan masyarakat sekitar.
Catatan :
Dulunya untuk mengecap pendidikan formal yang lebih
tinggi, saya beserta kesembilan saudara kandung, sudah cukup bangga mengenyam
pendidikan hingga tingkat SMA, karena ketidakmampuan biaya. Untuk melanjutkan
pendidikan ke lebih tinggi itu adalah upaya sendiri, sehubungan untuk membiayai
sekolah kami, ayah sebagai PNS yang
menerima penghasilan, tanpa diragukan lagi adalah benar-benar
didapatkannya dari gaji bulanannya yang kukira cukup untuk membesarkan kami,
dan kami tidak pernah dididik untuk menjadi pengusaha, sehubungan tidak ada
keluarga usahawan, dan dulunya kulihat demikian juga berlaku bagi kami uluh
Kapuas (orang yang tinggal di aliran sungai Kapuas)lainnya, kebanyakan apabila
tidak dapat menjadi seorang pegawai pemerintah ataupun sebagai karyawan swasta,
kebanyakan akan menjadi petani musiman serta mengharapkan hasil alam baik
menambang emas dan menebang kayu hutan untuk dijual, sebelum kata illegal
mining dan illegal logging kerap dikenal orang dayak dan kini membuat mereka berurusan
dengan aparat keamanan, yang kini sumber daya alam tersebut makin terbatas.
Kini benar sulit mencari tempat yang benar-benar
dianggap keramat dan dihormati, bahkan tanah yang sejak lama dijaga oleh nenek
moyang sebagai tempat berburu dan mencari ikan : dijadikan beje dimanfaatkan sebagai
tempat ikan berkumpul ketika musim hujan berganti musim kemarau, kini diganti
perusahaan-perusahaan, contohnya perusahaan sawit yang kini mulai mengakui
tanah tersebut sebagai areal mereka. Demikian juga tanah yang letaknya tidak
jauh dari keramaian, apabila lalai digarap akan menjadi milik developer
perumahan, yang tiba-tiba sudah mengantongi ijin pembangunan, dan menimbulkan pertikaian
dengan masyakarat penggarap namun tidak memiliki pengetahuan tentang pentingnya
mengurus surat tanah.
Modal besar perusahaan dan pengusaha kaya, memang
menjanjikan pembukaan lahan dan pengelolaan serta pembangunan yang cepat hingga
secara tampak tidak disengaja saking cepatnya tidak menyadari bahwa tanah nenek
moyang kita dan kesakralannya hampir tidak ada lagi, bahkan kisah mistis dan
kepahlawanan yang mengikutinyapun hampir tidak terdengar lagi.
Masyarakat
pendatang dengan pendidikan yang tinggi dan mampu bersaing sudah terlalu
banyak, bahkan sulit mengejar kecerdasan mereka yang lulusan sekolah dari luar
Kalimantan Tengah, yang tentunya lebih maju sarana dan prasarananya dari kota
kita yang beberapa tahun sebelumnya hanyalah hutan rimba. Demikian harapan bagi
saudaraku yang bisa sepemikiran, hindarilah tergesa-gesa menjual dan
menyerahkan tanah hanya untuk hal yang bersifat sesaat, bahkan jagalah dan sahkanlh
bahwa tanah itu milikmu, dengan merawatnya dan tidak lupa membuat surat
menyuratnya, baiklah sebelumnya pikirkanlah anak cucu kita, apabila nantinya
tidak ada tempat atau tanah untuk diolah sendiri, dan memilih tinggal semakin
ke daerah pedalaman di tanah yang bukan milik sendiri ataukah meriuh suasana
kota yang semakin sempit dan mulai tidak percaya diri. Baiklah menyisakan
tempat mengolah tanah sendiri oleh dan untuk anak cucu kita, dan mempercayakan
mereka bahwa kita juga bisa mengolah tanah kita sendiri tanpa mengharap banyak bekerja
sebagai PNS dan karyawan swasta yang tenaga dicarinya hanya 1 : 3, 1 untuk lowongan
pekerjaan dan tersisa 2 untuk pengangguran.
Catatan ini saya akhiri, sembari membagi pemikiran
berdasarkan pengalaman yang saya alami, mengenang masa hidup orang yang saya
hormati, baik ayah kandung saya yang memilih kariernya sebagai PNS dan pensiun,
akibat penyakit tekanan darah tingginya, dan serangan stroke untuk yang ketiga
kalinya membuatnya meninggal dunia di usianya yang ke 67 tahun. Namun kisahnya
kepada kami tentang kisah-kisah Panglima Dayak dan kisah mistis suatu tempat
dan tentang wilayah keramat yang menjadi legenda tetap terasa hidup agar masa
itu tidaklah lenyap hanya sebagai kisah yang sirna belaka tanpa dijaga. Dan
tentunya sifat dasar kita manusia tidak akan mudah percaya pada suatu hal, apalagi
kisah tersebut tentang hal keramat, yang sekarang belum tentu bisa ditemukan
kembali tempatnya, akibat tidak adanya keinginan menjaga tanah leluhur. Demikian juga ayah angkat dan ibu angkat saya
yang selalu tampak sehat, bekerja dengan hidup bersama alam dan memanfaatkan
hasil alam yang tersedia, dapat berumur panjang hingga umur lebih dari 80
tahun, dan anehnya saya dapat tidur nyenyak tinggal dalam kesederhanaan rumah mereka,
mereka selalu menerima orang luar dalam keluarganya, bahkan mereka mengangkatku
sebagai anak angkat. Bahkan lebih dari itu ayah dan ibu angkat akan selalu
menerima anak muda yang mencari kepercayaan dirinya, dengan mengingat leluhur
dan tanah moyangnya, akan diterima dan dibimbing untuk diberikan petunjuk bahwa
kita juga harus ikut serta menorehkan nama untuk menjaganya tetap abadi.
Tampak gambar ini sekitar
tahun 1988, foto saya dari kiri sambil memegang dua helai bulu Burung Haruei
dan disebelah kanan adalah Bapak angkat saya bernama “Bato” (seorang Kepala Dusun) di Kampung Maruei daerah Puruk
Cahu.yang telah mengantar sampai muara kaki Gunung
Bundang atau Puruk Bundang diwilayah Barito (Puruk Cahu).
Karungut ini saya karang, berdasarkan kisah perjalanan saya menuju
Puruk Bundang :
Karungut Petak Malai Bulu Marindu
Tahi manunyang
kapehen huang
Katahin lihi
tiung tarawang
Bilak lumpat
jalan malekat
Karena Buli
Hajamban Surat
Bukei itung
karangkan niat
Manggau ilmu je
paling harat
Hapus nyelu
baganti bulan
Tulak mangarik
hulu Kahayan
Lepah lewu uras
nasaran
Tapi ampi jatun
panduan
Mules tinai
Kapuas Murung
Sampai Barito
murik nahusung
Puri, ampah je
Runduk patung
Taluh je nggau
hindai tanturung
Halau lepah je
bontok tiwei
Murik mimbit
kapehen atei
Mun dia dinu
minyak karuhei
Bara buli buang
keleh ku matei
Tukep Puruk Cahu
atun Carita
Taluh je nggau
tau inyupa
Hung puruk
bundang atun sadia
Tapi mandua
batenung jiwa
Karna je nggau
petak malai buluh marindu
Mangat atei huang
tau balemu
Sana jite je
jadi dinu
Takiri manuk
baputi tau manandu
Balu aku je bara
hunjun
Jaka ku tau
bilak tarawang
Kahanjak atei
karangkan huang
Atei jantung
umbet bahimang
Sana aku mulai
mahapa
Telu jumahat
katahin amala
Buluh marindu
sarat sarita
Mangat tiung
mules halua
Sana tiung je
jadi dumah
Palus ku misek
je buah-buah
Ampi tiung
bagulung tumbah
Dengan je bakas
ie manyarah
Sarita jituh dia
imanjang
Sarita munduk je
hunjun sambang
Lenge nahanan je
batang sawang
Ienyaksi awi je
Putir santang.